Legislatif
Jakarta | Sabtu, 09 Feb 2008 (Jurnal Nasional)
ANGGOTA Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Al Muzzammil Yusuf menilai, di satu sisi Asean Charter yang ditandatangani 10 pimpinan negara Asean merupakan kemajuan, dengan adanya basis ikatan hukum atau legal base antar sesama anggotanya. Tapi pada saat yang sama, ia memunculkan persoalan ketatanegaraan di Indonesia.
Pasalnya, ungkap politisi Partai Keadilan Sejahtera ini, pada Pasal 5 Asean Charter dinyatakan, negara-negara yang menyetujui charter tersebut perlu menyesuaikan berbagai perundang-undangan negara bersangkutan dengan Asean Charter. Sementara, charter tersebut ditandatangani pemerintah Indonesia tanpa sebelumnya meminta persetujuan DPR.
"Ketentuan tentang persetujuan DPR tersebut diperintahkan dalam UUD (Undang-Undang Dasar) 1945, Pasal 11 Ayat 1 dan 2, hasil amandemen ketiga dan keempat, tahun 2001 dan 2002," ujar Al Muzzammil kepada Jurnal Nasional, di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, karena konsekuensinya serius, seharusnya sejak awal Presiden melibatkan DPR, minimal komisi I DPR yang membawahi urusan luar negeri.
Kejadian ini, kata Al Muzzammil, bisa mengulangi penolakan DPR terhadap perjanjian pertahanan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan Singapura, beberapa waktu lalu. Dia menegaskan, ke depannya hal-hal seperti ini tidak sepatutnya terulang, karena ini akan menimbulkan keraguan dan ketidakpastian bagi negara-negara luar yang menandatangani perjanjian dengan pemerintah Republik Indonesia (RI), baik dalam skala bilateral maupun multilateral.
Selain itu, dari sisi ekonomi, dengan diterapkannya a single market untuk Asean pada tahun 2015, masih bisa diperdebatkan positif dan negatifnya untuk RI. Sedangkan dari sudut dispute setlement atau penyelesaian konflik internal Asean mungkin akan lebih baik. "Sedangkan dari sudut isu hak asasi manusia, dikhawatirkan Asean Charter tidak akan bisa berbuat banyak, terutama misalnya untuk memperbaiki kondisi di Myanmar," ujar Al Muzzammil. n Abdul Razak
Jakarta | Sabtu, 09 Feb 2008 (Jurnal Nasional)
ANGGOTA Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Al Muzzammil Yusuf menilai, di satu sisi Asean Charter yang ditandatangani 10 pimpinan negara Asean merupakan kemajuan, dengan adanya basis ikatan hukum atau legal base antar sesama anggotanya. Tapi pada saat yang sama, ia memunculkan persoalan ketatanegaraan di Indonesia.
Pasalnya, ungkap politisi Partai Keadilan Sejahtera ini, pada Pasal 5 Asean Charter dinyatakan, negara-negara yang menyetujui charter tersebut perlu menyesuaikan berbagai perundang-undangan negara bersangkutan dengan Asean Charter. Sementara, charter tersebut ditandatangani pemerintah Indonesia tanpa sebelumnya meminta persetujuan DPR.
"Ketentuan tentang persetujuan DPR tersebut diperintahkan dalam UUD (Undang-Undang Dasar) 1945, Pasal 11 Ayat 1 dan 2, hasil amandemen ketiga dan keempat, tahun 2001 dan 2002," ujar Al Muzzammil kepada Jurnal Nasional, di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, karena konsekuensinya serius, seharusnya sejak awal Presiden melibatkan DPR, minimal komisi I DPR yang membawahi urusan luar negeri.
Kejadian ini, kata Al Muzzammil, bisa mengulangi penolakan DPR terhadap perjanjian pertahanan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan Singapura, beberapa waktu lalu. Dia menegaskan, ke depannya hal-hal seperti ini tidak sepatutnya terulang, karena ini akan menimbulkan keraguan dan ketidakpastian bagi negara-negara luar yang menandatangani perjanjian dengan pemerintah Republik Indonesia (RI), baik dalam skala bilateral maupun multilateral.
Selain itu, dari sisi ekonomi, dengan diterapkannya a single market untuk Asean pada tahun 2015, masih bisa diperdebatkan positif dan negatifnya untuk RI. Sedangkan dari sudut dispute setlement atau penyelesaian konflik internal Asean mungkin akan lebih baik. "Sedangkan dari sudut isu hak asasi manusia, dikhawatirkan Asean Charter tidak akan bisa berbuat banyak, terutama misalnya untuk memperbaiki kondisi di Myanmar," ujar Al Muzzammil. n Abdul Razak
COMMENTS