Legislatif
Selasa, 29 Jan 2008
MANTAN Presiden Soeharto merupakan orang besar yang memiliki jasa sangat besar bagi bangsa Indonesia. Namun, penguasa negeri selama 32 tahun ini juga tidak luput dari kesalahan yang dibuatnya selama menjadi presiden.
Demikian disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Al Muzzammil Yusuf kepada Jurnal Nasional, Senin (28/1).
"Yang terpenting, semoga bangsa Indonesia bisa memetik hikmah dari kepemimpinan HM Soeharto, baik dan buruknya, untuk kebaikan bangsa dan negara di masa depan." kata Al Muzzammil.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera asal Lampung ini, perjuangan Soeharto di masa hidupnya harus dinilai secara adil. Dia mengungkapkan, sebagaimana diakui oleh Jenderal Besar AH Nasution, jasa Soeharto tidak terbantahkan saat menghancurkan Partai Komunis Indonesia atau PKI pada tahun 1965.
"Ini hutang budi bangsa dan seluruh umat beragama tanpa terkecuali," ujar Al Muzzammil.
Selain itu, ungkapnya, pada periode 1967 sampai dengan 1998, Soeharto juga berjasa melakukan pembangunan fisik bangsa. Sayangnya, disertai dengan setidaknya tiga persoalan besar. Yakni, mismanagemen yang akut, di mana 30 persen dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lenyap karena praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sebagaimana disinyalir Profesor Sumitro.
Persoalan besar lainnya, kebijakan asas tunggal Pancasila dengan korban utama partai, organisasi kemasyarakatan, dan aktivis Islam. Di masa pemerintahan Soeharto juga banyak korban dari kalangan kelompok vokal dan kritis.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Chozin Chumaidy mengungkapkan, Saat Soeharto berkuasa, politik sama sekali tidak dinamis. Yang dibangun di era itu adalah politik hegemoni yang bertumpu pada kekuatan Soeharto, berbasiskan pada dua kaki, militer dan birokrasi. Partai yang ada, terutama PPP dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya pelengkap demokrasi saja.
"Meski demikian, bibit-bibit demokrasi tetap selalu tumbuh dan berkembang. Tapi semua itu tertumpas dan terpinggirkan," katanya.
Di era tersebut, menurut Chozin, memang ada tiga partai politik. Tapi terjadi penyeragaman politik, baik di masyarakat maupun di lembaga perwakilan rakyat. Penyebabnya, tegas Chozin, Soeharto terlalu lama menjadi presiden. Itu mengakibatkan terjadinya distorsi kekuasaan dan kemandekan demokrasi. Secara ekonomi dan politik, pemerintahannya berakhir tidak baik. Terjadi sentralisasi kekuasaan yang mengakibatkan krisis ekonomi.
"Ujungnya, saat reformasi, muncullah kekuatan rakyat yang menginginkan perubahan yang bersinergi dengan politikus di Senayan yang juga menginginkan perubahan dan perbaikan," ujar Chozin. n Abdul Razak
Selasa, 29 Jan 2008
MANTAN Presiden Soeharto merupakan orang besar yang memiliki jasa sangat besar bagi bangsa Indonesia. Namun, penguasa negeri selama 32 tahun ini juga tidak luput dari kesalahan yang dibuatnya selama menjadi presiden.
Demikian disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Al Muzzammil Yusuf kepada Jurnal Nasional, Senin (28/1).
"Yang terpenting, semoga bangsa Indonesia bisa memetik hikmah dari kepemimpinan HM Soeharto, baik dan buruknya, untuk kebaikan bangsa dan negara di masa depan." kata Al Muzzammil.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera asal Lampung ini, perjuangan Soeharto di masa hidupnya harus dinilai secara adil. Dia mengungkapkan, sebagaimana diakui oleh Jenderal Besar AH Nasution, jasa Soeharto tidak terbantahkan saat menghancurkan Partai Komunis Indonesia atau PKI pada tahun 1965.
"Ini hutang budi bangsa dan seluruh umat beragama tanpa terkecuali," ujar Al Muzzammil.
Selain itu, ungkapnya, pada periode 1967 sampai dengan 1998, Soeharto juga berjasa melakukan pembangunan fisik bangsa. Sayangnya, disertai dengan setidaknya tiga persoalan besar. Yakni, mismanagemen yang akut, di mana 30 persen dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lenyap karena praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sebagaimana disinyalir Profesor Sumitro.
Persoalan besar lainnya, kebijakan asas tunggal Pancasila dengan korban utama partai, organisasi kemasyarakatan, dan aktivis Islam. Di masa pemerintahan Soeharto juga banyak korban dari kalangan kelompok vokal dan kritis.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Chozin Chumaidy mengungkapkan, Saat Soeharto berkuasa, politik sama sekali tidak dinamis. Yang dibangun di era itu adalah politik hegemoni yang bertumpu pada kekuatan Soeharto, berbasiskan pada dua kaki, militer dan birokrasi. Partai yang ada, terutama PPP dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya pelengkap demokrasi saja.
"Meski demikian, bibit-bibit demokrasi tetap selalu tumbuh dan berkembang. Tapi semua itu tertumpas dan terpinggirkan," katanya.
Di era tersebut, menurut Chozin, memang ada tiga partai politik. Tapi terjadi penyeragaman politik, baik di masyarakat maupun di lembaga perwakilan rakyat. Penyebabnya, tegas Chozin, Soeharto terlalu lama menjadi presiden. Itu mengakibatkan terjadinya distorsi kekuasaan dan kemandekan demokrasi. Secara ekonomi dan politik, pemerintahannya berakhir tidak baik. Terjadi sentralisasi kekuasaan yang mengakibatkan krisis ekonomi.
"Ujungnya, saat reformasi, muncullah kekuatan rakyat yang menginginkan perubahan yang bersinergi dengan politikus di Senayan yang juga menginginkan perubahan dan perbaikan," ujar Chozin. n Abdul Razak
COMMENTS